Bandung (Kemenag) — Kepala Badan (Kaban) Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama, M Ali Ramdhani, mengatakan bahwa mengambil kebijakan bukan hal gampang. Sebab, persoalannya bukan tentang salah dan benar. Akan tetapi, punya kewenangan atau tidak.
Hal tersebut dikatakan Kaban saat didaulat membuka resmi sekaligus memberi arahan pada kegiatan “Peningkatan Kualitas Penyusunan Naskah Kebijakan” yang diinisiasi Pusat Strategi Kebijakan Pendidikan Agama dan Keagamaan (Pustrajak Penda) BMBPSDM di Bandung, Jawa Barat.
“Dalam membangun sebuah sistem untuk mengambil kebijakan, setidaknya ada 5R yang perlu dijadikan modal utama,” kata Kaban Dhani di Bandung, Rabu (21/5/2025) malam.
Pertama, resources (sumber daya). Seberapa jauh kita memahami resources yang kita miliki. Bicara soal resources tentu terkait erat dengan sumber daya manusia. “Misalnya bicara soal pendidikan agama dan keagamaan, maka perlu diketahui sejauh mana kita punya jejaring implementator kebijakan ini,” ujarnya.
Menurut Kaban, ketika hendak melakukan perubahan-perubahan maka perlu ditengok kultur dan strukturnya. Kemudian, manpower juga tak kalah penting untuk diperhatikan.
“Karena bicara manpower tidak hanya terkait jumlah orang. Namun, kemampuan orang untuk mengadaptasi sesuatu hal yang baru,” terang Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini.
Kedua, roles (peran). Kita harus berbagi peran dalam penataan kebijakan. Misalnya di dunia pendidikan terdapat kepala madrasah, guru, dan siswa. Secara struktural terdapat dirjen, direktur, kasubdit, kepala bidang (kabid) dan kepala seksi (kasi).
“Jadi, roles ini perlu ditata sedemikian rupa sehingga kebijakan yang kita tetapkan bisa diimplementasi dengan baik,” tuturnya.
Ketiga, relationship (hubungan antar peran). Dari hubungan antar peran ini sejauh mana bisa terbangun sebuah ekosistem dengan mempertautkan aneka pemikiran. Relationship itu menata dan mengatur hubungan bisa timbal balik atau hanya satu arah.
“Dari sini mulai dipetakan menjadi sebuah bagan sebagaimana disusun di dalam sebuah pemancar jejaring pekerjaan kita. Nah, kita melihat bahwa kekuatan relationship ini menjadikan sinergi karena ada kolaborasi, sinkronisasi, integrasi, dan simplifikasi,” paparnya.
Keempat, rules (aturan). Rules ini untuk menata dan mengatur agar orang tidak melakukan jumping (lompatan-lompatan). Pada satu sisi, sebagai birokrat di struktural misalnya, kadang kita dipusingkan oleh sikap sebagian orang yang suka ‘melompat pagar’.
“Jadi, bukan kewenangannya tapi tiba-tiba dia mengambil kebijakan. Maka dapat dikatakan dia tidak profesional. Nah, kalau fungsional begitu Anda diberi mandat jabatan maka semua terserah Anda,” tutur Kaban.
Ia mencontohkan dokter ketika sudah masuk ke ruang operasi, guru atau dosen masuk kelas, maka semua kebijakan terserah yang bersangkutan. Tinggal kode etik saja yang perlu dipegang erat.
Kelima atau terakhir, result (hasil). Sebuah kebijakan dari awal harus dipahami konsekuensi logisnya. “Kalau seseorang memukul, maka logikanya yang dipukul akan merasa sakit. Sementara yang memukul akan merasa berdosa,” ujarnya berfilosofi.
Kaban Dhani menambahkan bahwa dari result ini kita bisa menata dan mengatur seberapa jauh efektif sebuah kebijakan dengan melakukan evaluasi secara mendalam. “Jadi, kebijakan itu sejatinya adalah pilihan sebagai bagian dari penyelesaian masalah,” pungkasnya.