Hongkong pada sekitar tahun 1960-1970an mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai sektor pembangunan. Kemajuan ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan penduduk, namun juga memberikan peluang korupsi bagi petugas pemerintah dalam memberikan layanan. Masyarakat mulai mencari cara lain untuk mendapatkan pelayanan yang baik dan cepat dari pemerintah dengan memberikan uang extra kepada aparat pemerintah.
Korupsi merajalela di Hongkong. Begitu parahnya, sampai petugas ambulans sudah biasa meminta uang sebelum menjemput pasien. Atau, petugas pemadam kebakaran baru mau memadamkan api setelah menerima uang. Bahkan seorang pasien pun harus memberikan uang kepada perawat di rumah sakit untuk segara mendapatkan kamar ataupun segelas air. Menawarkan uang suap kepada pejabat pemerintah merupakan hal yang biasa saat itu. Bila tidak dilakukan, mereka tidak akan melayani masyarakat.
Adalah Peter Godber, seorang Kepala Polisi di Hongkong. Dia diketahui memiliki aset senilai HK$ 4.3 juta. Uang itu diduga berasal dari hasil korupsi. Ketika hendak ditangkap, dia berhasil melarikan diri. Dari situ diketahui bahwa korupsi yang paling serius adalah yang terjadi di Kepolisian Hongkong. Petugas polisi yang korup melindungi pelaku perjudian, prostitusi, dan narkoba. Banyak masyarakat telah menjadi korban, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Korupsi sudah menjadi masalah sosial di Hongkong, namun pemerintah Hongkong saat itu seperti tidak berdaya untuk mengatasinya. Masyarakat mulai kehilangan kesabaran dan mulai mendesak pemerintah untuk segera mengatasi korupsi. Hal ini memicu reaksi masyarakat. Masyarakat melakukan demonstrasi dan menuntut pemerintah melakukan aksi nyata untuk memberantas korupsi dan menangkap Peter Godber.
Pemerintah kemudian menunjuk Sir Alastair Blair-Kerr, yang juga seorang Hakim untuk memimpin sebuah tim untuk menyelidiki kasus larinya Peter Godber. Masyarakat yakin kasus ini tidak akan terselesaikan, kecuali pemerintah mendirikan sebuah lembaga anti korupsi yang terpisah dari kepolisian. Menindaklanjuti laporan Sir Alastair Blair-Kerr, Gubernur Hongkong, Sir Murray MacLehose pada pidatonya di depan Dewan Perwakilan mengemukakan bahwa sudah saatnya Hongkong memiliki sebuah badan anti korupsi yang independent.
Pada bulan Februari, 1974 didirikanlah Independent Commission Against Corruption. ICAC memiliki komitmen untuk memberantas korupsi dengan strategi “3 ujung”, yaitu pencegahan, penindakan, dan pendidikan. Salah satu tugas awalnya adalah untuk menangkap Peter Godber.
Kejadian hampir serupa berlangsung juga di Singapura. Hingga tahun 1952, semua kasus korupsi di Singapura ditangani oleh unit kecil di kesatuan polisi Singapura yang dikenal sebagai ‘Unit Anti Korupsi”. Pada Oktober 1951, ditemukan keterlibatan polisi Singapura dalam penyelundupan opium senilai S$ 400 ribu. Terbongkarnya kasus ini mengawali dibentuknya CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi baru yang independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan semua kasus korupsi.
Pemerintah kolonial Inggris, mulai memikirkan strategy yang tepat untuk mengurangi korupsi yang semakin parah di negara ini. Landasan undang-undang dan dukungan politis yang kuat dalam program pemberantasan korupsi menjadikan CPIB sebagai pelopor terbentuknya citra Singapura yang bersih dari korupsi.
Namun, perjalanan CPIB tidak selalu mulus. Pada tahun 1959, perundangan yang ada dianggap kurang mendukung kinerja CPIB. Banyak kalangan di Singapura yang skeptis dalam menilai kinerja CPIB saat itu. Adanya kendala perundang-undangan tersebut diresponse pemerintah dengan menciptakan peraturan anti korupsi yang lebih efektif di tahun 1960’an dengan nama “the Prevention of Corruption Act”. Undang-undang yang baru ini menambah kewenangan investigasi dari CPIB dan menetapkan hukuman yang lebih berat bagi pelaku korupsi.
Di bawah pimpinan Lee Kwan Yew yang berkuasa pada tahun 1959, diproklamirkan “perang terhadap korupsi”. Lee menegaskan: “no one, not even top government officials are immuned from investigation and punishment for corruption’ (Tidak seorang pun, meskipun pejabat tinggi negara yang kebal dari penyelidikan dan hukuman dari tindak korupsi). Tekad Lee Kwan Yew didukung dengan disahkannya Undang-Undang Pencegahan Korupsi (The Prevention of Corruption Act/PCA) yang diperbaharui pada tahun 1989 dengan nama The Corruption (Confiscation of Benefit) Act.
Dengan adanya ada political will yang kuat dari Lee, CPIB diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk menggunakan semua otoritas dalam memberantas korupsi dengan dukungan publik. Kendati Lee memiliki kekuasaan yang besar, namun ia tak bisa melakukan intervensi. Lembaga ini benar-benar merupakan lembaga yang kuat, independen, dan netral sehingga tak bisa diintervensi oleh pihak manapun. Selain pemisahan lembaga dan political will yang kuat, kunci keberhasilan CPIB dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu komitmen yang kuat dan konsistensi dalam penanganan korupsi baik upaya preventif (pencegahan) maupun represif (penindakan).
Undang-Undang Korupsi kemudian disyahkan di tahun 1989, yang memberikan wewenang pengadilan untuk membekukan dan menyita aset dan properti yang didapat dari tersangka korupsi. CPIB juga bisa melakukan penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan, dan yang terpenting dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka melarikan diri dari proses penuntutan. Di tahun 1999, Undang Undang Korupsi digantikan dengan undang-undang baru yang disebut Undang Undang Korupsi, Perdagangan Obat Bius dan Kejahatan Serius. Undang-undang yang baru ini dapat dijadikan dasar bagi pemerintah Singapura untuk memberantas pencucian uang. UU ini juga memberikan wewenang lebih bagi CPIB untuk menyita aset dan memberikan tambahan denda atau tambahan hukuman bagi terpidana korupsi untuk kasus-kasus tertentu.
Komitmen pemerintah Singapura dalam pemberantasan korupsi juga tidak terbatas hanya pada kegiatan penindakan namun juga pada kegiatan pencegahan dan pendidikan masyarakat. Salah satu kegiatan pencegahan yang pantas diteladani dari Singapura adalah (i) pemerintah memotong peluang korupsi melalui penyederhanaan prosedur administrative, menghilangkan berbagai pungutan dan menghukum kontraktor pemerintah yang terlibat kasus suap (ii) Secara periodik mereview “legal framework” yang sudah ada dengan terus menganalisa perlunya amendemen yang mungkin dibutuhkan dalam menyikapi perubahan situasi dan kondisi terkini di Singapura (iii) meningkatkan gaji pegawai layanan publik menjadi lebih memadai dan tidak tertinggal jauh dengan gaji di sektor swasta. Saat ini gaji pegawai pemerintah di Singapura merupakan gaji pegawai pemerintahan tertinggi di dunia
CPIB Singapura disebut sebagai model investigatif dikarenakan karakteristiknya yang unik. Keunikannya terlihat dari ukurannya yang relatif kecil, menekankan pada fungsi investigatif dan arah pemberantasan disesuaikan dengan kebijakan besar pemerintah. CPIB disebut kecil, karena pada tahun 2000 jumlah pegawai yang tercatat di CPIB hanya sebanyak 80 orang.
Hal yang sama juga terjadi di ICAC Hongkong. Perkembangan ICAC Hongkong sangat pesat dan bahkan dijadikan “role model” bagi pemberantasan korupsi di negara lain. Kunci dari keberhasilan ICAC adalah komitmen, konsistensi dan pendekatan yang koheren antara pencegahan dan penindakan. Pencegahan termasuk pendidikan masyarakat dan peningkatan kesadaran sikap anti korupsi merupakan aktifitas utama (core activity) dari “model Hongkong”. Kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh ICAC Hongkong ini mendapat dukungan penuh bahkan dari penyidik yang sedang melakukan tindakan represif. Banyak KAK yang gagal mengadopsi model Hongkong ini karena tidak mampu mensinergikan fungsi penindakan dan pencegahan sebaik ICAC Hongkong. Namun, jumlah pegawai ICAC Hongkong mencapai sekitar 1200 orang pada tahun yang sama dengan pegawai di CPIB Singapura.
ICAC (Independent Commission Against Corruption) Hongkong : Model Universal ICAC Hongkong disebut model universal karena dianggap sebagai model KAK yang ideal bagi pemberantasan korupsi. Ideal disini dalam arti mempunyai kerangka hukum yang kuat, mendapatkan support keuangan yang cukup besar, jumlah tenaga ahli yang mencukupi dan yang terpenting konsistensi dukungan pemerintah yang terus-menerus selama lebih dari 30
tahun.
ICAC Hongkong didirikan dengan wewenang yang besar dalam penindakan dan pencegahan. Wewenang yang besar seperti melakukan penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan dan yang terpenting dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka melarikan diri dari proses penuntutan.
Investasi modal dari pemerintah Hongkong untuk ICAC relatif besar, untuk tahun 2001 sebesar US $ 90 juta, yang sebagian besar digunakan untuk membayar pegawainya yang berjumlah 1200 orang. Investasi sumberdaya manusia dilakukan dengan sangat baik oleh ICAC Hongkong, sehingga SDM ICAC tercukupi baik dari jumlah dan keahlian. Pola recruitment dan jenjang karir di ICAC Hongkong didasarkan pada keahlian dan kinerja masing-masing staf. Turn over di ICAC Hongkong ini terbilang sangat rendah. Ada persyaratan tertentu bagi staf ICAC yang berasal dari lembaga pemerintah yakni, tidak diperbolehkan untuk masuk kembali ke kantor pemerintah, atau lembaga yang terdapat kasus korupsinya dalam kurun waktu 2 tahun setelah keluar dari ICAC.
ICAC Hongkong mengkontrol korupsi di Hongkong melalui 3 departemen fungsional yakni investigasi, pencegahan dan hubungan masyarakat. Departemen terbesar adalah departemen operasional (investigasi). 75 persen anggaran ICAC dialokasikan untuk departemen operasional termasuk menggaji staf yang berkualitas di departemen ini. Departemen pencegahan menginvestasikan sebagian besar dananya untuk membiayai kegiatan study yang berkaitan dengan korupsi, menyelenggarakan seminar untuk pebisnis dan membantu masyarakat dan organisasi swasta dalam mengidentifikasi upaya strategis untuk mengurangi potensi korupsi. Study yang dilakukan ICAC Hongkong ini memberikan informasi yang menarik mengenai tingkat dan modus korupsi yang dilakukan pegawai pemerintahan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam merubah hukum dan undang-undang anti korupsi yang berlaku.
Departemen hubungan masyarakat menginformasikan kepada publik tentang revisi dari Undang Undang dan peraturan yang berlaku. Departemen ini juga berperan dengan baik dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bahaya korupsi melalui berbagai kampanye publik yang sistematis dan terencana. Keseluruhan fungsi-fungsi dari tiap departemen di ICAC Hongkong menjadi acuan bagi banyak KAK di seluruh dunia, meskipun tidak ada jaminan sepenuhnya bahwa mengadopsi model ini akan sanggup menyelesaikan masalah yang dihadapi KAK di tiap-tiap negara.
Sementara di CPIB Singapura, penekanan lebih diprioritaskan pada fungsi investigatif. Ini menjadikan CPIB harus mampu menyelesaikan kasus korupsi yang ditangani dengan hukuman yang dapat memberikan deterrent effect. Hal ini dapat dibuktikan oleh CPIB, dimana dalam semua kasus yang ditangani mempunyai tingkat pembuktian yang tinggi. Dari tiap kasus korupsi yang terbukti mampu menghasilkan denda hingga $ S100.000 dan kurungan penjara hingga 5 tahun. Selain dikenai denda terdakwa yang terbukti bersalah juga harus mengembalikan seluruh uang hasil korupsinya.
Arah pemberantasan korupsi di CPIB ditekankan untuk meyakinkan investor akan iklim bisnis yang bebas suap dan beretika di Singapura. Untuk itu seluruh putusan dalam sidang korupsi adalah putusan yang kredibel dan berpihak pada kegiatan pembangunan Singapura. Hingga saat ini, CPIB di Singapura dan ICAC di Hongkong menjadi “Role Model” Komisi Anti Korupsi di seluruh dunia.
Bagaimana dengan Pemberantasan Korupsi di Indonesia?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk setelah revolusi 1998, menuntut pengusutan dan pengadilan atas tindak pidana korupsi selama rezim Orde baru. Pada tahun 2004, KPK baru dibentuk tepatnya pada pemerintahan Presiden Megawati. Meskipun KPK dibentuk, kehendak politik pada saat itu tidak mendukung KPK sebagaimana di Singapura. Hal ini dikarenakan masih lemahnya regulasi mengenai korupsi, dan adanya tiga lembaga yang menangani korupsi. Selain itu, ada faktor lain yaitu banyaknya pejabat yang harus diaudit oleh KPK di seluruh Indonesia.
Karena itulah, secara umum dalam sistem hukum pidana di Indonesia khususnya terkait dengan Tindak Pidana korupsi ada beberapa ketentuan pokok yang terkait antara lain KUHP sebagai ketentuan pidana dasar dan UU Nomor 31 tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun 2001, UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencucian Uang, dan lain-lain. Dalam hal ini berlaku lex spesialis derogat legi generale yaitu UU terkait sebagai lex spesialis dan KUHP sebagai lex generale.
Inilah yang membedakan regulasi di Indonesia dan Singapura. Regulasi di Singapura lebih membedakan pada pemilahan pelaku dari tindak pidana korupsi, sedangkan di Indonesia lebih membedakan pada delik yang terjadi. Hal ini terlihat dari regulasi di Singapura dengan Prevention of Corruption Act rumusan delik khusus di kalangan bisnis berupa penyuapan antara swasta dengan swasta, dan untuk pegawai negeri delik suap diambil dari KUHP Singapura. Sedangkan di sisi lain, Indonesia dengan KUHP secara umum untuk setiap orang dan UU Nomor 20 tahun 2001 untuk delik Tindak Pidana Korupsi dan juga UU Nomor 8 tahun 2010 untuk delik Pencucian Uang.
Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, definisi korupsi dijelaskan dalam beberapa buah pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001, dan dalam UU tersebut juga disebutkan sanksi bagi yang melanggar, antara lain sebagai berikut:
1. Tindak Pidana Korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah). Bahkan pada ayat (2) pasal ini pidananya dapat diperbesar yaitu pidana mati.
2. Tindak Pidana Korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 210 KUHP.
3. Tindak Pidana Korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluhjuta
Rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 209 KUHP.
Selain ketiga pasal tersebut masih ada beberapa ketentuan yang terkait mengenai pidana korupsi antara lain:
1. Tindak Pidana Korupsi suap pada hakim dan advokat sebagaimana dimaksud dalam pasal 6.
2. Tindak Pidana Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dankorupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7.
3. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri menggelapkan uang dan surat berharga. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
4. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri memalsukan buku-buku dan daftar-daftar. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 9.
5. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri merusak barang, akta, surat atau daftar. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 10.
6. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan. Sebagaimana dimaksud dalam pasal
7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara atau hakim dan advokat menerima hadiah atau janji: Pegawai Negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan. Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 12.
8. Tindak Pidana Korupsi suap Pegawai Negeri menerima gratifikasi. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B.
9. Tindak Pidana Korupsi suap pada Pegawai Negeri dengan mengingatkan kekuasaan jabatan. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 13.
10. Tindak Pidana yang berhubungan dengan Hukum acara pemberantasan korupsi, yang padadasarnya bersifat menghambat, menghalang-halangi upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan ini dimuat dalam 3 (tiga) pasal, yakni pasal 21, 22, dan pasal 24.
11. Tindak Pidana pelanggaran terhadap pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 KUHP.Sebagaimana dimaksud dalam pasal 23.
Secara umum, dalam pengaturan korupsi di Ondonesia pada intinya memuat beberapa hal seperti perseorangan atau korporasi yang melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara dipidana penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00, bahkan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi pidana mati. Sedangkan perorangan atau korporasi menyalahgunkan kewenangan, kesempatan atau fasilitas yang ada padanya, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
Dalam UU No. 20 tahun 2001 disebutkan bahwa menyuap pegawai negeri adalah korupsi, dan pelakunya diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 250.000.000,00 dan memberi hadiah kepada pegawai negeri juga termasuk korupsi. Jadi segala bentuk penyuapan digolongkan kepada korupsi.
Sementara, dari kinerja yang ada, pemberantasan korupsi masih didominasi oleh KPK. Lembaga-lembaga yang mempunyai tugas sama dalam penanganan korupsi masih belum terlihat kinerjanya. Dalam menangani kasus korupsi, baik dengan cara Represif dan preventif, di dalam lembaga KPK terdapat tujuh organ atau komponen pokok yang membawahi beberapa organ lainnya antara lain Pimpinan KPK, Penasihat KPK, Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data, Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Sekretariat Jenderal.
Meskipun seluruh organ dalam KPK saling bekerja sama secara sistematis dalam penanganan korupsi, tetapi pada faktanya upaya represif yang di lakukan oleh Deputi Bidang Penindakan beserta organ di bawahnyalah yang sering terlihat di media dalam melakukan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan para koruptor.
Padahal, korupsi di Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (oligarkhi absolut). Pada Zaman Kerajaan, budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno (Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll), mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri berupa pemungutan pajak atau upeti pada penduduk di masa itu dan juga perebutan kekuasaan dengan dalih wanita atau putri raja.
Budaya korupsi di Indonesia juga terlihat dari para “abdi dalem” atau posisi orang suruhan dalam kerajaan. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi cikal bakal lahirnya kalangan
opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa korup yang begitu besar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita di kemudian hari.
Pada zaman penjajahan budaya korupsi mulai muncul dan tampak ke permukaan yang terwujud dalam praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan boneka politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Selain itu para penjajah Belanda memperbudak para kaum pribumi menjadi pekerja paksa atau budak untuk memperkaya mereka atau yang disebut rodi.
Pada Zaman Modern, perkembangan praktek korupsi di zaman modern ini merupakan lanjutan dari peninggalan penjajah kolonial. Salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan
telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Pola kepemimpinan yang cenderung otoriter dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka, sebagaimana dirumuskan sejarawan Inggris, Lord Acton: “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”.
Referensi:
Direktorat Litbang – Deputi Pencegahan KPK. 2006. Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar, Zambia, Kenya dan Tanzania).
Tunjung Mahardika Hariadi. 2013. Perbandingan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Negara Singapura dan Indonesia. Jurnal Recidive, Vol. 2 (3) Desember 2013.