Oleh : Maslahul Falah (Penulis Buku Islam ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia)
Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Penetapan tanggal ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2016.
Di antara pertimbangannya adalah bahwa untuk pertama kalinya Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Ir. Soekarno, Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di depan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945; juga bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.
Konteks pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 itu secara sederhana digambarkan oleh Faisal Ismail dalam bukunya Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia Sebuah Studi Komprehensif (2017:32).
Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masa Maret-Mei 2000 ini menulis : “Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidatonya yang panjang dan tanpa teks di muka sidang BPUPKI. Soekarno terkenal sebagai orator ulung yang cara berfikirnya sangat artikulatif dan cara penyampaian ide ide dan gagasannya sangat ekspresif serta memikat para pendengarnya. Dalam pidatonya yang menarik perhatian para anggota BPUPKI itu, Soekarno sebagai tokoh penting di faksi Nasionalis Netral Agama mengusulkan “lima sila” atau “lima dasar” yang ia namakan Pancasila”.
Rumusan “lima sila” dari 29 Mei 1945, 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945 menjadi alur sejarah politik bangsa yang dinamis dan produktif. Sejak 13 April 1968 berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 1968 yang ditujukan kepada Semua Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga/ Badan Pemerintah lainnya. Dalam Instruksi Presiden ini sila sila dalam Pancasila dibaca atau diucapkan dengan tata urutan dan rumusan : (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; (5) Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (ejaan disesuaikan).
Rumusan Pancasila sebagai dasar atau ideologi negara sudah kuat dan bulat. Walaupun kadangkala masih muncul “perebutan” tafsir Pancasila dalam implementasinya dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah sendiri sudah mengawal aktualisasi nilai nilai Pancasila dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Bagi bangsa Indonesia memperingati hari-hari tertentu yang bersejarah bagi bangsa dan negara diharapkan semakin mengingat dan menumbuhkan kecintaan dan patriotisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk pada saat kita memperingati Hari Kelahiran Pancasila ini.
Pertama, memperingati Hari Lahir Pancasila memperkaya literasi dan sekaligus berkemampuan “membaca ulang” intelektualisme para pendiri Negara ini. Secara sederhana, intelektualisme ini mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti ketaatan atau kesetiaan terhadap latihan daya pikir dan pencarian sesuatu berdasarkan ilmu.
Intelektualisme Soekarno dalam konteks Hari Lahir Pancasila ini dapat kita nikmati pada hasil pembacaan Faisal Ismail (2017:41). Menurutnya, dalam merespon pertanyaan Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno memperlihatkan kecerdasan, kapasitas intelektual, dan kejernihan visinya tentang masalah fundamental kehidupan bangsa pada masa depan.
Dalam memformulasikan gagasan “Nasionalisme dan Humanisme”, tulis Faisal Ismail (2017:43), Soekarno mengakui bahwa dalam batas tertentu ia terpengaruh oleh ide ide seorang pemikir sosialis Belanda, Adolf Baars dan pendiri Republik Rakyat Cina, Sun Yat Sen.
Warisan intelektualisme para pendiri Negara ini melecutkan (1) para pemimpin Bangsa ini agar setiap membuat kebijakan politik tetap berlandaskan keilmuan dan kebangsaan; dan (2) bagi warga bangsa ketika menikmati warisan tersebut kita menjaganya dengan keilmuan juga.
Kedua, terkait dengan yang pertama, memperingati Hari Lahir Pancasila semakin menyadarkan kita bahwasanya Pancasila adalah ideologi yang mengikat kita dalam ke-Indonesiaan. Oleh karena itu, kita tidak “berebut” makna Pancasila dalam narasi dan aksi. Meminjam bahasa Kuntowijoyo (1997:82), dari segi instrinsik Pancasila sebagai ideologi dituntut harus konsisten, koheren dan koresponden.
Konsisten berarti berdiri bersama. Artinya adalah “Sesuai”, “harmoni”, atau “hubungan logis”. Satu sila harus merupakan kesatuan yang padu. Misalnya Sila ke-1 (Ketuhanan yang Maha Esa) mempunyai hubungan logis dengan pasal 29 UUD 1945, Sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) berhubungan logis dengan kemerdekaan, Sila ke-3 (Persatuan Indonesia) dengan pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah; sila ke-4 dengan pasal pasal 19, 20, 21, dan 22; dan sila ke-5 dengan pasal 33 dan 34.
Koheren berarti “lekat satu dengan yang lainnya”. Artinya adalah satu sila terkait dengan sila lainnya. Sila ke-2 tidak boleh lepas dari sila ke-1…dan seterusnya. Memilih salah satu saja dari sila-sila Pancasila dan meninggalkan sila yang lainnya adalah inkoherensi.
Koresponden berarti bersama. Artinya adalah cocoknya praktik dengan teori, kenyataan dengan ideologi. Misalnya, seorang yang berideologi Pancasila (Pancasilais) tidak bisa menjadi seorang pembunuh, karena pembunuhan itu tidak sesuai dengan kemanusiaan. Selamat Hari Lahir Pancasila!