Tahun 1930-an, Balai Pustaka menerbitkan seri buku masak berbahasa daerah. Salah satunya adalah buku masak berbahasa Sunda: Masakan djeung Amis-Amis (masakan dan manis-manis) yang terbit perdana pada 1934 dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Namun diterangkan dalam pengantar cetakan keempat (1951), selama Perang Dunia II, buku laris ini sempat berhenti dicetak ulang akibat suasana peperangan. Itu mengapa publikasi buku masak ini absen pada 1940-an.
Menurut Fadly Rahman, sejarawan makanan di Indonesia, yang menarik disimak adalah format resep dalam rubrik dan juga buku masak berbahasa Melayu dan daerah ternyata memuat komposisi hidangan yang tak berbeda dengan karya-karya gastronom Belanda. Karenanya, pada 1937 muncul Dr. Poorwo Soedarmo menggagas pendirian Lembaga Makanan Rakjat.
Selain itu, makanan juga mulai ditempatkan ke dalam ruang pers pribumi. Lembaga-lembaga pers dan organisasi perempuan pribumi pun mengemuka sejak awal abad 20. Sebut saja Poetri Hindia di Jawa, Soenting Melajoe di Padang, Soeara Iboe dari tanah Batak, dan Soeara Istri Kristen di Jawa Timur.
Media-media massa perempuan itu memuat rubrik resep-resep masakan dalam terbitannya. Salah satunya adalah kisah dari Raden Ajoe Adipati Arija Reksa-Nagara alias R.A. Kardinah (saudari R.A. Kartini). Kardinah adalah gastronom didikan Eropa yang mendirikan sekolah Wismo Pranowo (rumah yang meluaskan pandangan) di Tegal bagi anak-anak perempuan Pribumi yang didirikannya pada 1916.
Kardinah juga produktif menulis buku masak –selain menjahit dan membatik– seperti buku Lajang Panoentoen Bab Olah-Olah, ing Pamoelangan Wisma-Pranawa ing Indo. Dalam buku Masakan djeung Amis-Amis yang disebut di atas, konsep Indische Keuken yang ada meliputi: Inlandsche (Pribumi) – Chineesche (Tionghoa) – Europeesche (Eropa) masih hadir dalam komposisi: ”Masakan”, ”Masakan Tionghoa”, dan ”Masakan Eropa.” Meski
disajikan dalam bahasa Sunda, tidak sedikitpun sang pengarang anonim itu menggunakan kata ”masakan Sunda,”; malah dalam satu menunya digunakan
kata: ”goreng hajam Indonesia”.
Citarasa Membangun Bangsa
Indische keuken mulai mengalami penurunan pamor pada masa kekuasaan Jepang (1942 – 1945). Pada masa itu Jepang menerapkan penghapusan terhadap berbagai wujud kebudayaan kolonial. Lepas dari kekuasaan Jepang dan masuk ke masa kemerdekaan bukan berarti situasi menjadi membaik dan mendukung hidupnya kembali kegairahan dalam aktivitas kuliner terkait dengan belum stabilnya harga bahan-bahan pangan.
Hal itu terungkap dalam buku masak karya W.C. Keijner (1948): ”Seiring rampungnya cetakan terbaru buku masak ini, harga menampilkan citarasa Eropa. Hal itu terasa dari penerbit yang menyinggung kenaikan harga buncis dan wortel sebagai jenis sayuran yang notabene identik dengan bahan makanan Belanda. Komposisi 23 jenis resep dalam buku masaknya meliputi olahan Belanda, Tionghoa, dan Indonesia yang terasa mirip dengan buku-buku masak masa kolonial. Bedanya pada dua cetakan terakhir tahun 1948, buku masak ini mulai mengganti label makanan Indische atau Inlandsche
dengan nama Indonesische (makanan Indonesia). Beberapa jenis olahan dari daerah-daerah di Indonesia pun tampil di dalamnya, seperti dari Padang
(pangéh, gulai, rendang), Cirebon (sate manis), Tegal (besengèk), Manado (ayam dibulu, lemper), hingga Ambon (schuimpjes).
Meski diterbitkan ulang pada masa kemerdekaan, buku masak Keijner ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan sayuran dan bahan-bahan lainnya
tengah naik. Resep-resep dalam buku masak ini menggunakan bahan-bahan makanan dengan kisaran 5 sen buncis, 2 sen wortel kecil dll, yang tentu tidak proporsional lagi dengan harga saat itu. Cukup jelas bahwa sayuran dan bahan-bahan lainnya akan lebih mahal daripada masa sebelum perang, tapi semua ini harus didasarkan pada perkiraan bahwa kelak harga akan stabil.
Pada masa kemerdekaan, muncul gastronom seperti Chailan Sjamsu yang berusaha mengubur segala gaya hidup kolonial dalam hal kemewahan makannya. Secara tidak langsung, justru ia ingin menyadarkan rakyat Indonesia di berbagai daerah untuk bangga terhadap makanannya sendiri.
Chailan Sjamsu Dt. Toemenggoeng, seorang gastronom Pribumi asal Minang. Dibandingkan Keijner yang lebih berkiblat pada selera Eropa, Chailan Sjamsu lebih cenderung memikirkan konsep boga nasional bagi Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Meski terbit ulang pada tahun yang sama dengan buku masak Keijner, tapi cara pandang Chailan Sjamsu berbeda sekali dengan selera serba Eropa-nya Keijner. Chailan Sjamsu lebih mendorong pembacanya dari kalangan rakyat Indonesia di desa dan di kota agar memberdayakan bahan-bahan pangan lokal untuk membuat olahan aneka makanan kue dan masakan.
Buku masak Chailan Sjamsu pun jauh lebih banyak memasukkan jumlah variasi makanan dan kue-kue Indonesia, seakan ini mewakili citarasa nasionalisme Chailan Sjamsu. Selain terobsesi ingin mewujudkan sejenis boga nasional, ia juga menampilkan kelompok lima resep bercitarasa kedaerahan, yang mencakup Sumatra, Jawa dan Madura, Sunda, Borneo dan Sulawesi Selatan.
Kesadarannya menampilkan resep-resep makanan daerah di Indonesia pun mungkin tidak lepas dari pemikirannya bahwa setiap makanan mulanya adalah “makanan daerah” (regional dish). Makanan daerah sendiri lahir sebagai respons terhadap iklim, sumber daya, dan kebiasaan setiap kelompok orang di daerahnya masing-masing. Dengan kata lain, ia ingin menyadarkan pembacanya di berbagai dengan memuliakan bahan-bahan mahal seperti mentega dan terigu saja.
Namun, ia lebih optimal memberdayakan sumber daya pangan lokal di Indonesia. Maka itu, buku masaknya bukan sekedar menyajikan galeri resep-resep saja, tapi ia juga menyertakan berbagai pengetahuan umum memasak, mulai dari perkakas yang diperlukan di dapur; macam-macam cara memasak; hal-hal yang harus diperhatikan seputar bahan makanan dan ketika memasaknya; hingga memahami cara mengukur dan menimbang bahan makanan yang benar.
Chailan Sjamsu menempatkan pemahaman seputar bahan makanan sebagai hal pokok. Hal ini terhubung dengan pemikiran dan pertimbangannya dalam menseleksi resep-resep daerah dan asing serta alasannya menghimpun ke dalam ”makanan Indonesia”.
Setelah era Chailan Sjamsu, pada kurun 1951 hingga 1961, muncul nama Nyonya Rumah, seorang pengasuh rubrik ”Rahasia Dapur” di majalah mingguan Star Weekly. Nyonya Rumah sendiri adalah nama pena yang digunakan oleh seorang Peranakan Tionghoa asal Lasem, Julie Sutardjana. Sejak 1951, Julie dipercaya oleh redaktur Star Weekly untuk setiap pekannya mengasuh rubrik ”Rahasia Dapur”.
Dalam setiap ulasan resepnya, Nyonya Rumah tidak pernah mengutamakan resep-resep khusus, sebut saja seperti resep bercitarasa Indonesia, Tionghoa, atau Eropa. Pengecualian pada hari-hari besar Tionghoa seperti Imlek dan Cap Go Meh, Nyonya Rumah lebih cenderung mengulas resep-resep bercitarasa Tionghoa, mengingat pembaca Star Weekly kebanyakanpermintaan mereka.
Praktis, Nyonya Rumah selalu disibukkan menyeleksi dan memenuhi permintaan resep mana yang harus didahulukan untuk dimuat. Misalnya, pada Star Weekly edisi 14 Mei 1955, ada tiga pembaca dari Tegal, Bandung, dan Purwokerto yang salah satunya meminta resep klappertaart. Kue berbahan kelapa muda yang identik dari Manado ini ternyata cukup dikenal dan disukai para pembacanya di Jawa. Nyonya Rumah lantas memenuhi pemuatan resep itu.
Selain itu, permintaan pembaca dari suatu daerah terhadap resep makanan dari daerah lainnya hampir ada setiap pekan, misalnya pembaca dari Jakarta yang meminta resep ”Soto Bandung” atau pembaca dari terdiri dari kalangan Tionghoa Peranakan). Sebagian besar terbitan resepnya cenderung mengulas secara acak dan campur resep-resep dari berbagai unsur.
Kecenderungan acak dan campur itu bukan atas kehendaknya, melainkan permintaan resep dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai daerah di Jawa (mulai dari Jakarta, Bandung, Slawi, Purwokerto, Semarang, Surabaya hingga Bangkalan) dan juga di luar Jawa (seperti Padang, Medan, Palembang Makassar, Manado, Palangkaraya, Balikpapan, hingga Ternate).
Setiap pekannya, banyak surat dari para pembaca setia Rahasia Dapur yang ditujukan ke Nyonya Rumah agar dapat membuat dan memuat resep Surabaya yang meminta resep ”Dodol Garut”. Nyonya Rumah sendiri mungkin tidak menyadari bahwa ia telah berhasil membentuk komunitas pembaca nasional yang merasakan saling-silang rasa dari berbagai unsur citarasa antardaerah di Indonesia.
Hebatnya lagi, Nyonya Rumah tidak pernah kehabisan stok resep. Ini menandakan betapa luas pengetahuan gastronominya, selain kekuatan energi, pikiran, dan kreativitas serta keluangan waktunya untuk memenuhi permintaan para pembaca setianya setiap pekan.
Kiprahnya mengasuh rubrik Rahasia Dapur sejak 1951 hingga 1961 tentu patut diperhitungkan bahwa tanpa disadarinya ia telah berperan penting
menyadarkan suatu konsep citarasa besar Indonesia pertama yang menampilkan resep-resep Nusantara.
Tingginya antusiasme permintaan resep, maka banyak pembaca setia rubrik ”Rahasia Dapur” menyurati redaksi Keng Po, selaku pihak yang menerbitkan Star Weekly, dan menyarankan agar resep-resep Nyonya Rumah yang berserak di majalah mingguan itu sebaiknya dibukukan agar membuat praktis pembaca mencari resep-resepnya.
Permintaan itu diamini dan akhirnya terwujud pada 1957 ketika Penerbit Kinta (Jakarta) menerbitkan dua jilid buku Pandai Masak karya Nyonya
Rumah yang laris dicetak ulang hingga dasawarsa 1960-an.
Baik kiprah Chailan Sjamsu maupun juga Julie Sutardjana, menurut Fadly Rahman, dinilai sejalan dengan proyek ”Revolusi Makanan Rakjat” yang digelorakan Presiden Sukarno sepanjang tahun 1950-an hingga medio 1960-an. Karena itu, melalui Departemen Pertanian diterbitkan sebuah buku tentang masakan Indonesia. Pengerjaannya memakan waktu tujuh tahun (1960 – 1967) di bawah koordinasi Menteri Pertanian Brigadir Jenderal dr. Azis Saleh yang kemudian baru bisa diselesaikan oleh penggantinya, Mayor Jendral Sutjipto.
Buku ini kemudian menjadi buku masak nasional pertama Indonesia yang berjudul “Mustika Rasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang Sampai Merauke”, yang diterbitkan dalam pengembangan kuliner Indonesia pada masa pascakemerdekaan. Penyusunan Mustika Rasa sendiri berlandas pada pemikiran bahwa yang pokok dari penciptaan boga nasional untuk konteks Indonesia adalah menjalin secara apik dan menyeluruh hubungan strategi pangan nasional. Hubungan yang dimaksud itu ditentukan terlebih dahulu dari kualitas budidaya pangannya sebelum diolah di dapur dan terhidang di meja makan hingga dijadikan sebagai bagian dari identitas bangsa.
Buku masak nasional pertama Indonesia ini selanjutnya terbit pada 8 Februari 1967, atau bertepatan dengan tahun dan bulan kala Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto (20 Februari 1967).
Sebuah ironi.
Sumber Tulisan:
Fadly Rahman, Dari Indische Keuken ke Boga Indonesia 1857-1967, Majalah Mata Budaya, Edisi 2/2017, Penerbit: Taman Budaya Yogyakarta, hal: 6-18. Materi diakses di https://tby.jogjaprov.go.id/assets/uploadsck/files/MAJE%202%20full%20web.pdf